Project History

“We think, We learn, We study, We created  for South Sumatera People Prosperity”

Pada era 1800-an, pola perdagangan di Sumsel adalah moda angkutan air, terutama pada tahun 1880, perdagangan di daerah ini, baik dari wilayah pedalaman maupun dari Kota Palembang sebagai sentral perdangan dilayani oleh kapal uap, yang lazim disebut Hekwieler atau “Kapal Roda Lambung” atau Kapal “Marrie”.

Kapal Marrie membutuhkan kedalaman -3 meter untuk pelayaran di Sungai Lematang, Sungai Komering dan Sungai Ogan, Kapal “Marrie” di gunakan oleh masyrakat pada saat itu untuk membawa hasil bumi terutama karet dan kopi, selain untuk sarana pengangkutan hasil bumi, kapal ini juga berfungsi sebagai sarana transportasi penduduk untuk bepergian, dulu dermaga kapal roda lambung ini adalah di kawasan sebelah hulu (Dermaga di sebelah hulu yang berada di bawah jembatan Ampera).

Saat mulai terbukanya akses menggunakan kereta api pada tahun 1927 maka dimulailah persaingan antara kapal roda lambung dan kereta api dan memasuki masa 1930-an, angkutan kereta api mulai mendominasi, dan kondisi ini semakin di perparah pada akhir tahun 1948 terjadi banjir bandang yang membawa luapan lumpur dan batu besar dari hulu sungai Lematang yang membuat terjadinya pendangkalan di beberapa titik sungai Lematang hingga ke sungai Rotan, sehingga di tahun 1949 pelayaran Kapal “Marrie” berhenti beroperasi di Sungai Lematang, Kapal Roda Lambung” masih dapat bertahan hidup hanya di wilayah Musirawas, yang kala itu belum ada rel kereta api milik ZSS (Zuid Sumatra Staatss-poorwegen